OBJEK-OBJEK SIMBOLIS BUDDHISME
Tahta kosong melambangkan Buddha dalam seni Buddhis kuno, dan patung singa di pilar Asoka di Sarnath menyatakan kekuatan ajarannya. Simbol agama Buddha membawa pesan tanpa kata yang sama kepada orang-orang dari semua budaya.
Sang Buddha mengajar murid-muridnya, melalui teladannya sendiri, untuk menjalani kehidupan yang paling sederhana, dengan memiliki harta yang minimal. Beberapa seperti, jubah dengan ikat pinggang kain, jarum, benang, & mangkuk (pata) untuk menerima persembahan makanan sehari-hari.
CETIYA (PALI) / CAITYA (SANSKERTA)
Cetiya berarti "pengingat", berupa objek atau tempat yang digunakan oleh penganut tradisi Theravada untuk mengingat Buddha Gautama.
Menurut Pangeran Damrong Rajanubhab, putra Raja Mongkut Rama IV Siam (pendiri ordo Dhammayuttika Nikaya)...
Cetiya dibedakan menjadi empat, yaitu relik (Dhatu), tanda atau monumen pengingat (Paribhoga), ajaran (Dhamma), penetapan bersama (Udesaka). Bagaimanapun ini adalah hasil pengelompokan jauh setelah Buddhaparinibbana.
Dhatucetiya, adalah relik, bagian organ jasmani Sang Buddha setelah beliau mencapai parinibbana dan diperabukan dan tidak hancur sempurna. Usai Buddha diperabukan, banyak pemimpin yang menginginkan relik beliau sehingga relik Buddha tersebar ke beberapa penjuru.
Relik, adalah salah satu benda penghormatan sangat berharga bagi umat Buddha. Penghormatan harus dilakukan secara benar untuk menjunjung guru agung, bukan karena kandungan gaib atau kisah-kisah klenik di baliknya.
Paribhogacetiya, adalah benda atau peralatan yang pernah dipakai oleh Sang Buddha seperti jubah, mangkuk makan, alas tempat duduk, Gandhakuti (pondok kediaman Buddha dulu), dan lain-lain.
Dhammacetiya. Seiring waktu berlalu, penghormatan terhadap dhatucetiya dan paribhogacetiya oleh umat Buddha sulit dilakukan karena akses jarak dan hal lain. Umat Buddha kemudian menciptakan Dhammacetiya dengan membangun stupa yang disemayamkan ajaran Sang Buddha.
Hal ini didasarkan karena apda Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha menyampaikan pesan bahwa sepeninggal beliau, Dhamma yang telah beliau ajarkan dengan baik adalah yang menjadi wakil beliau, sejajar dengan Sang Buddha sendiri.
Ditinjau dari sisi pemikiran awal, maka penghormatan kepada Dhammacetiya ini adalah salah satu bentuk penghormatan yang didasarkan pada alasan kuat dan mengarah ke pengertian benar.
Uddesikacetiya, adalah tempat-tempat bersejarah erat dengan Buddha. Di antaranya adalah:
Taman Lumbini Nepal, tempat dilahirkan
Buddhagaya (Bodhgaya), tempat mencapai Kebuddhaan
Varanasi (Baranasi), tempat pertama kali membabarkan ajaran
Kusinara, tempat wafat agung beliau
Uddesikacetiya secara harfiah adalah benda atau tempat yang dikukuhkan untuk dipuja. Sebenarnya ini bukan hanya berkaitan dengan benda atau tempat, melainkan juga terkait waktu, seperti Waisak, Asalha, dan Magha.
Pada purnama di bulan Waisak, diperingati untuk tiga peristiwa agung. Pertama, lahirnya Pangeran Siddharta Gautama, sang calon Sammasambuddha. Kedua, pencapaian Kebuddhaan pada usia 35 tahun. Ketiga, wafat agung, bebas dari kelahiran kembali di usia 80 tahun.
Purnama di bulan Asalha, adalah peringatan pembabaran ajaran Buddha pertama kali, dua bulan setelah pencapaian Kebuddhaan di taman rusa Isipatana, Varanasi.
Purnama di bulan Magha, peringatan ketika sang Buddha bertemu dengan 1250 murid pertamanya serentak tanpa perjanjian.
BUDDHARUPANG / BUDDHARUPA / PATUNG BUDDHA
Dalam rincian jenis cetiya tadi, sebenarnya Buddharupa atau perwujudan Buddha tidak masuk ke salah satu jenis cetiya. Tradisi membuat patung Buddha ini muncul ratusan tahun setelah Buddha parinibbana, atas pengaruh tradisi Yunani.
Beberapa cendekiawan arkeolog berpandangan bahwa buddharupa pertama kali diciptakan zaman Raja Kanishka dinasti Kushana yang berkuasa antara tahun 119—163, 650 tahun setelah Buddhaparinibbana. Melewati sejarah yang panjang, akhirnya Buddarupa diterima sebagai objek pujaan.
Pembuatan Buddharupa pada kala itu adalah praktik yang bisa dikatakan sangat berani, karena pengaruh seni pembuatan patung budaya Yunani. Awal pembuatan Buddharupa terjadi di wilayah India utara dan barat laut, yang sekarang adalah Kashmir, Pakistan, dan Afghanistan.
Pada saat itu di sana menganut ordo Uttaranikaya, cikal bakal tradisi Acariyavada atau Mahayana, sehingga dapat dikatakan bahwa pelopor objek puja dalam bentuk patung berasal dari kelompok Acariyavada.
Bagi kelompok lain seperti Vibhajjavāda (akar Theravada), pada zaman itu menganggap pembuatan buddharupa adalah sikap kurang hormat terhadap Buddha.
Masyarakat Vibhajjavāda yang merupakan turunan dari Sthavira nikāya tidak menggambarkan wujud Sang Buddha secara jelas.
Tempat penghormatan Sang Buddha pada kala itu masih berupa simbol-simbol seperti pohon Bodhi (disebut Asattha bagi masyarakat lokal), bunga teratai sebagai simbol kesucian, singgasana kosong, cakra atau roda Dhamma, tapak kaki, atau singa duduk di atas alas berbentuk teratai.
Waktu berjalan, Buddharupa kini menjadi objek pujaan yang sangat umum bagi umat Buddha, dan menjadi salah satu jenis uddesikacetiya. Bisa dikatakan, tidak ada vihara atau pusat kegiatan Buddhisme yang tidak punya buddharupa.
Tradisi Mahayana memberikan tambahan mudra atai gestur tangan dengan arti-arti tertentu.
Tradisi Mahayana ini memberi corak yang kaya bagi karya seni Buddhisme di Nusantara. Nusantara memiliki corak Buddharupa sendiri, begitu pula Thailand, Sri Lanka, dan negara sekitar.
Di Siam pada masa Dinasti Cakri, Raja Rama III Phra Bat Somdet Phra Nangklao Chao Yu Hua memohon kepada Somdet Kromphraparamanuji Jinorot, seorang bhikkhu keturunan dinasti, untuk mengumpulkan peristiwa-peristiwa penting kehidupan Sang Buddha.
Hal tersebut melahirkan lagi bentuk buddharupa lain seperti posisi mencapai Kebuddhaan, saat meditasi setelah pencapaian, saat pertama membabarkan roda Dhamma dan lain-lain.
Bentuk-bentuk buddharupa berkembang lagi hingga masing-masing bentuk mewakili hari tertentu. Aditya (Minggu) berarti Matahari, dikaitkan Buddha berdiri menatapkan mata. Candra (Senin) berarti Bulan, dikaitkan Buddha berdiri untuk mencegah penyakit.
Anggara (Selasa) berarti Mars, dikaitkan Buddha berbaring. Budha (berbeda dengan Buddha; Rabu) berarti Merkurius, dikaitkan Buddha berdiri membawa mangkuk persembahan makanan.
Brhaspati (Kamis) berarti Jupiter, dikaitkan Buddha duduk meditasi.
Sukra (Jumat) berarti Venus, dikaitkan Buddha duduk termening. Saura (Sabtu) berarti Saturnus, dikaitkan Buddha duduk dipayungi Raja Naga.
Selain tujuh benda langit itu, ada dua planet lagi yaitu Rahu dan Ketu, namun Ketu adalah nama lain Bulan di posisi peredaran tertentu.
Rahu kemudian ditetapkan sebagai simbol Rabu malam dan dikaitkan Buddha duduk dengan kaki menggantung, di beberapa tradisi didampingi gajah dan monyet.
Planet Ketu tidak ditetapkan sebagai simbol hari dalam sepekan dan dikaitkan sebagai Buddha duduk meditasi bersilang kaki.
Posisi itu ditetapkan sebagai bentuk buddharupa yang dapat dipuja oleh mereka yang tidak mengetahui hari kelahirannya, dan umum digunakan di beberapa vihara sebagai bentuk buddharupa yang netral bagi masyarakat yang memegang tradisi mudra Buddha tujuh hari.
Selain perwujudan Buddha, juga terdapat Delapan Tanda Keberuntungan (Ashtamangala) sebagai berikut,
1. Payung (chattra): kekuatan spiritual
2. Dua ikan mas (suvanamarsya) saling berhadapan: pembebasan melalui pencerahan
3. Vas (kalasha): kelimpahan spiritual
4. Teratai (padma): kemurnian
5. Cangkang keong (saṅkha): suara agung ajaran Buddha yang bergema
6. Simpul tanpa ujung (shrivasta): kebijaksanaan Buddha
7. Pataka kemenangan (dhvaja): kemenangan kebijaksanaan ajaran Buddha atas ketidaktahuan
8. Roda Dhamma (dharmachakra): perwujudan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Bukan delapan jalan, namun satu jalan dengan pemenuhan delapan unsurnya, ebagai pedoman hidup umat Buddha.
SIMBOL KEMISKINAN
Seiring waktu, ketika agama Buddha berkembang dan beradaptasi dengan praktik keagamaan budaya baru yang beragam, ada objek yang memperoleh makna simbolis. Saat meninggalkan rumah, Sang Buddha dikatakan telah menukar pakaian pangerannya dengan kain pengemis.
Istilah "Bhikkhu" (Pali) / "Bhiksu" (Sanskerta) pun secara harfiah bermakna "pengemis". Maka dari itu, "gelar" ini tidak dipakai umat Buddha untuk menyapa, mengingat aturan moralitas umat Buddha lebih sedikit.
Umat Buddha menyapa para biarawan biarawati dengan sebutan beragam.
Theravada:
1. Bhante, sebutan umum di Indonesia dan Sri Lanka dari bahasa Pali
2. Ashin, sebutan silsilah Myanmar
3. Sayadaw, sebutan silsilah Myanmar untuk Bhikkhu senior
4. Luang Pi, sebutan di Thailand jika Bhikkhu setara usia kakak kita. Ada juga Bhikkhu lebih tua namun sudah terkenal dan biasa disebut Luang Pi
5. Luang Por หลวงพ่อ, sebutan di Thailand jika Bhikkhu sudah pantas menjadi seorang ayah, atau Bhikkhu sudah terkenal dengan gelar itu
6. Luang Phu หลวงปู่ atau Luang Ta หลวงตา, sebutan di Thailand jika sudah pantas sebagai kakek
7. Ajahn อาจารย์, sebutan di Thailand secara umum untuk Bhikkhu yang sudah sepuluh tahun menjalani kebhikkhuan. Umumnya seorang Ajahn dijuluki Luang Por
Mahayana
1. Suhu, berarti guru, digunakan di hampir semua tradisi Mahayana Tiongkok atau Mahayana lain yang di Indonesia
2. Master, berarti guru, digunakan di beberapa tradisi Mahayana yang berfokus pada meditasi Zen
3. Rinpoche, digunakan di Mahayana Tibet (Vajrayana) untuk Bhiksu yang sudah diketahui kehidupan lampaunya sebagai Lama tertentu, disebut Tulku. Gelar ini juga untuk bhiksu kepala atau mantan bhiksu kepala di suatu vihara.
Umumnya jika umat di Indonesia menuliskan nama-nama biksu, akan diawali dengan YM (Yang Mulia) diikuti gelar dan nama beliau.
Contoh: YM Bhikkhu ..., YM Suhu ..., dll.
Meski "bhikkhu" secara harfiah adalah "pengemis", namun mereka tidak datang untuk meminta-minta. Pada saat waktu mengumpulkan persembahan makanan, serombongan bhikkhu tradisi Theravada atau bhiksu di beberapa tradisi Mahayana berjalan lalu berdiri diam di depan rumah.
Jika umat melihat dan berniat memberi, umat akan keluar rumah dan mempersembahkan makanan. Beberapa saat jika dirasa tidak ada yang keluar rumah, mereka melanjutkan perjalanan.
Umat memberi dengan sopan, tidak banyak bicara, dan bhikkhu tidak mengucapkan terima kasih.
Tidak mengucapkan terima kasih adalah cara untuk menjaga netralitas. Bhikkhu memberi sedikit wejangan atau memberi tahu bahwa umat harus berbahagia karena telah melakukan kebajikan, kemudian mengucapkan paritta pemberkahan.
Biarawan Buddhis memakai pakaian yang sama dengan Buddha untuk menunjukkan bahwa mereka juga telah menyerahkan kekayaan dan kenyamanan demi kemiskinan. Mereka mengenakan jubah yang mereka jahit bersama dari kain bekas pembungkus mayat.
Pada masa itu, sebelum dikremasi, mayat dibungkus terlebih dahulu dengan kain putih (kain paling murah) untuk disemayamkan. Ketika akan dikremasi, kain tersebut dibuang. Kain diwarnai dengan tanah atau diwarnai dengan pewarna seadanya.
Warna secara tradisional berwarna kuning, warna yang dapat diproduksi dengan murah dari kunyit, tanaman yang melimpah di India.
Biksu Tibet mengenakan jubah merah, mungkin diwarnai dengan kayu gelondongan yang murah.
Biksu Korea menodai jubah mereka abu-abu dengan arang sebagai pengingat bahwa tubuh pada akhirnya akan menjadi abu. Biksu Thailand menggunakan kulit pohon nangka
Para biksu memotong kain persembahan umat awam dan dijahit sesuai dengan tradisi.
PERMATA DI DALAM TERATAI
Teratai tumbuh dari lumpur berlendir di dasar danau hingga kuncup di batang bawah air dan mekar harum di permukaan.
Dalam agama Buddha, teratai mewakili kemampuan pikiran untuk melampaui keinginan manusia melalui ajaran Buddha untuk mencapai pencerahan.
Di tiang besar yang didirikan di Sarnath oleh kaisar Ashoka, singa, yang melambangkan kekuatan ajaran Buddha, duduk di atas teratai. Dalam seni figuratif, Buddha sering digambarkan berjalan di atas teratai.
Avalokiteshvara, bodhisattva welas asih, ditampilkan memegang teratai. Tara Putih, bentuk perempuan Avalokiteshvara, yang melambangkan kemurnian pikiran dan pengetahuan transenden, memegang teratai putih delapan kelopak di tangan kirinya, pengingat Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Padmapani, manifestasi laki-laki dari Avalokiteshvara memegang teratai biru, simbol kesempurnaan kebijaksanaan dan pengetahuan.
Akasagarbha, penjaga Buddha Vairocana, sering digambarkan memegang teratai dan permata di masing-masing tangannya.
Permata yang dipegang Akasagarbha berbentuk seperti pedang. Bagi Vajrayana permata inilah simbol cahaya pengetahuan, keagungan Buddha, dan memotong ketidaktahuan, tetapi tidak dengan sendirinya dihancurkan.
Vajra dalam bahasa Sanskerta bermakna juga sebagai petis, dan dalam Buddhisme Tibet, vajra atau dorje, adalah objek yang digunakan secara berkembang pada tata puja. Ini menunjukkan sifat pencerahan yang tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat dibagi.
Dalam puja Buddhisme Tibet, seorang Lama memegang vajra di tangan kanan dan lonceng di tangan kiri. Lonceng vajra adalah objek ritual dengan lonceng di satu ujung dan vajra di ujung lainnya. Bunyi bel mengingatkan tujuan mencapai pencerahan.
STUPA
Stupa adalah salah satu objek puja paling awal dalam agama Buddha dan dijiwai dengan simbolisme. Bentuk stupa dari pra-Buddha India merupakan tempat penguburan tanah yang beratapkan tiang kayu.
Bentuk tersebut melambangkan hubungan antara alam penderitaan, alam bahagia, dan kondisi padamnya kelahiran kembali.
Di India kuno, stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu kalangan bangsawan atau tokoh tertentu.
Di kalangan Buddhis, stupa menjadi tempat menyimpan relik Buddha. Setelah wafat lalu dikremasi, sisa pembakaran yang berupa kristal yang juga disebut sebagai relik atau sarira disimpan dalam delapan stupa terpisah yang didirikan di India Utara.
Salah satu stupa yang dikenal di dunia adalah Borobudur yang dianggap sebagai paduan Stupa, Mandala, dan punden berundak. Pembahasannya sudah pernah ditulis di tautan berikut.
Semoga semua makhluk berbahagia.
https://twitter.com/berunsurdelapan/status/1534499534147309569…
𝐁𝐎𝐑𝐎𝐁𝐔𝐃𝐔𝐑 𝐈𝐓𝐔 𝐀𝐏𝐀?
Secara tradisional, Borobudur disebut 'candi' dengan pengertian yang umum. Candi menurut KBBI adalah bangunan kuno yang dibuat dari batu (tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja, pendeta-pendeta Hindu atau Buddha pada zaman dulu).