π. π©Νπ¨ΝπΌΝ π©Νπ°Νπ±Νπ°Ν πͺΝπ¬Νπ΄Νπ¨ΝπΉΝπ¨.
Saat itu, dia tidak terlihat seperti Ibuku. Dia menyuara, βπ«Μ΅πΎΜ΅π»Μ΅πΜ΅πΜ΅ π»Μ΅πΊΜ΅πΜ΅πΜ΅ πΜ΅πΜ΅πΜ΅πΊΜ΅ π»Μ΅πΎΜ΅πΜ΅π½Μ΅πΜ΅πΊΜ΅ πΜ΅πΊΜ΅πΜ΅πΜ΅ πΜ΅πΊΜ΅πΜ΅πΊΜ΅, π¨Μ΅πΜ΅πΜ΅πΎΜ΅.β begitu lantang sampai-sampai ....
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
MARKAH PERINGATAN :
Ini kisah mengandung pemikiran bunuh diri ( suicidal thoughts ) , senjata tajam ( weapons ) , kisah keluarga buruk ( broken family story ) , serta kata-kata tidak senonoh ( impolite words ) . Baca dengan kebijakan masing-masing.
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
οΈοΈ
..... suaranya berdengung di kepalaku selama kurang lebih lima tahun lamanya. Bau biji cemara semerbak raya. Lantai granit minim potongan lantas berhias genang cairan sumber aroma. Begitu pula permadani impor yang terhampar;
tepi-tepinya menjadi basah kecoklatan akibat reaksi kimia. Semuanya enggan luntur dari memoriku, bertengger konstan dan menghantuiku selama bertahun-tahun. Saat itu, kue ulang tahun ke-sepuluh milikku saja bahkan belum habis; tersisa di lemari pendingin lebih dari separuhnya.
β
Lalu Ibu mengajakku untuk mati saja.
β
Aku beragama. Aku patuh dan taat dengan jadwal ibadah maupun sekolah minggu. Aku juga takut pada neraka namun untuk pertama kali dalam hidupku pada saat itu, aku merasakan takut yang membuncah sampai lemas pada hal selain hukuman Tuhanβ-Ibu, Ibuku.
β
Belati di tangan Ibu.
Mati di tangan Tuhan.
Mati di tangan Ibu.
β
Tubuhku terjerembap. Tanpa memikirkan bahwa besok seragam putih-merah ku masih harus dipakai, keduanya kini basah terkena liquid karbol yang menggenang. Jumlahnya pun cukup banyak. Rumahku yang besar menjelma sebuah kastil pengasingan dengan dua tawananββIbu, dan juga aku.
βKemari, kita pergi bersama ke Rumah Tuhan. Mami dan kamu sudah pasti bahagia disana,β Ibu meracau dan bergerak mendekat bersamaan dengan punggungku yang sudah menyentuh daun pintu. Aku melihat kearah mata pisau yang berkilat; bersih.
Belum berlumur darah.
Lalu ingatanku memudar tepat setelahnya. Yang tertinggal dalam memori hanya aroma menyengat yang terlalu menusuk hidungku. Sebuah skenario tepat sasaranββbau busukku dan Ibuku bisa saja tidak ketahuan. Ini kastil pengasingan, betul? Tidak akan ada yang tahu.
Bisa jadi selamanya pula hanya ada aku dan Ibuku seakan abadi bernoda karbol dan juga noda kemerahan. Tidak lupa dengan luka, hadir tepat pada sekujur tubuh maupun batang-batang mimpi kami berdua yang sudah tiada bernyawa.
Iya, asal kawan sekalian tahu sajaββini adalah ladang tempur yang dibuat oleh Ibuku sendiri. Tempat diletakkannya baik angan-angan berpita manis warna merah muda milik Ibu, maupun milikku yang masih setengah matang, untuk dijadikan bahan taruhan.
β
Hari itu, kami kalah sebelanga, Kawan.
β
Aku merasa kalah. Meski Ibu tidak jadi menikamku, namun dia berhasil membunuh mimpiku. Seorang orang tua beberapa hari kemudian mengunjungiku dengan koper medis di tangan, memeriksa bola mataku (masih berfungsi dengan baik, sebenarnya), juga kondisi rongga mulut.
Ah, rasanya haus.
βItje, bisa ceritakan kenapa bisa sampai jatuh pingsan seperti kemarin?β Semakin ditelaah berkenaan insiden yang diusut, aku yakin saat itu aku merasakan sesak yang hebat sampai-sampai tidak bisa sekadar menggembungkan paru-paru.
Lalu kini, aku bernapas sekenanya. Masih leluasa, untungnya.
Dokter yang cukup sabar. βSaat itu ... β Aku menceritakan semuanya. Pada bagian tertentu, tanganku bergetar. Konsultasi diakhiri berikut denganku yang akhirnya ditinggal sendiri. Rutinitas yang berjalan selama (cont.)
(cont.) kurang lebih sebulan itu cukup menjemukan. Sesekali Ayah menjenguk, namun bau rumah sakit lain melekat di badannyaββtentu, ia juga mengunjungi Ibu. Kami berdua sama-sama sakit. Sekali dua kali kunjungan, aku sempat hampir menangis dibuat Ayah akibat ia (cont.)
(cont.) melupakan puding coklat bikinan Bibi rumah kesukaanku.
Satu bulan pasca insiden, aku tidak tahu bahwa selain menjenguk aku dan Ibu, Ayah menghabiskan waktunya untuk mengurus kepindahanku menuju Amerika Serikat. Jadi alih-alih puding coklat, ia membawakan koper untukku.