Thread Reader
Abimanyu

Abimanyu
@prabu_abimanyu

Mar 10, 2023
133 tweets
Twitter

Pembunuhan Wanita dengan Tangan Terikat

Sore hari 20 Januari 2023, saya rebahkan badan di sofa kantor menonton series Partners For Justice. Sembari menunggu anggota menempuh perjalanan darat dari Bali membawa 2 pelaku pembunuhan yang baru saja kemarin ditangkap, saya rasa sedikit istirahat tidaklah menjadi masalah.
Melihat Dr. Baek Beom mengotopsi dan menganalisa petunjuk kadang membawa saya mereview perjalan pengungkapan kasus-kasus pembunuhan yang saya alami dulu. Dari yang berbulan-bulan sampai yang hanya perlu 30 menit untuk menentukan pelakunya.
Ah, puluhan kasus pembunuhan itu mempunyai memorinya sendiri di kepala saya. Dari kesemuanya, tidak selalu perjalanan akan mudah. Tapi asalkan ada kejelian, pengalaman, dan tekad, saya rasa pengungkapan kasus hanyalah masalah waktu.
Pukul 17.00, saat itu hujan sedang turun deras-derasnya di Sidoarjo. Terdapat panggilan masuk dari Kanit Polsek Porong, sebuah wilayah Sidoarjo yang melingkupi daerah terdampak lumpur Lapindo. “Selamat sore ndan, izin laporan penemuan mayat di sebuah rumah.”
Setiap ada kejadian meninggal yang tidak diketahui penyebabnya di wilayah Sidoarjo, anggota selalu melakukan pendalaman fakta. Dari temuan tersebut barulah dianalisa penyebab kematian karena sakit, kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan. “Oh, gimana Pak? Bukan pembunuhan to?”
“Belum tau ndan, ini anggota baru perjalanan ke TKP. Tadi hanya disampaikan kalau ditemukan mayat seorang wanita di dalam sebuah rumah yang ia tinggali sendiri.” “Yaudah cek dulu pak, nanti kirim fotonya ya.” Saya arahkan anggota untuk mendapatkan fakta yang sebenarnya.
Memang, banyak juga kejadian orang yg tinggal sendiri di rumah meninggal karena sakit dan baru diketahui beberapa hari kemudian. Setelah melihat tanda tubuh, riwayat kesehatan, dan temuan TKP, barulah saya memutuskan penyebab kematian korban karena sakit atau ada penyebab lain.
5 menit berselang, ada sebuah kiriman gambar masuk ke dalam HP saya dengan keterangan, “Sementara foto ini dulu ndan, tadi dapat kiriman dari warga.” Terlihat di layar HP saya gambar mayat seorang wanita yang terbaring di atas sofa.
Dari penampakannya, terlihat jelas kondisi mayat telah mengalami pembusukan, khas korban yang telah meninggal beberapa hari. Tapi sebentar, sepertinya ada yang janggal. Kenapa korban setengah telanjang? Kenapa kakinya seperti terikat?
Saya segera menelpon kembali anggota Porong tadi. “Pak, kalau fotonya saja seperti ini, sudah pasti indikasi pembunuhan dong. Kakinya saja terikat kaya gitu lho..” “Siap ndan.” Anggota hanya bisa menjawab singkat karena nada bicara saya cukup agak meninggi.
Sial sial sial! Kenapa bisa ada 4 pembunuhan dalam sebulan? Situasinya sedang sangat tidak pas sekarang ini. Anggota yang membawa tahanan belum sampai di Sidoarjo. Sesampainya di sini pun mereka tentu butuh istirahat. Di sisi lain, kejadian ini harus cepat ditangani.
Menjalani profesi sebagai detektif, seringkali membuat saya tak bisa leluasa terhadap waktu. Ada beberapa hal yg tidak bisa ditunda apalagi menunggu semuanya siap. Mitigasi kejadian seperti ini seringkali memaksa saya berimprovisasi; mengorkestrasi keterbatasan sumber daya yg ada
Tidak boleh ada ruang keraguan. Golden hours tidak boleh berlalu begitu saja. Saya segera luncurkan tim olah TKP, identifikasi, dan 1 tim lapangan untuk penanganan awal. Saya beranjak dari sofa, menata pikiran, dan bergerak menuju TKP dengan harapan yang baik.
Saya tidak bisa memacu kendaraan dengan cepat kali ini. Hujan yang lebat menjadi penghambat yang tak diinginkan. Perjalanan sepertinya akan menempuh waktu lebih lama. Harapan saya, tim yang sudah terlebih dahulu sampai bisa memperoleh gambaran yang otentik.
Sampai di wilayah Porong, hari sudah mulai gelap. Saya diarahkan menuju gang kecil perkampungan oleh titik maps yg dikirim anggota. Sebentar... Sepertinya ada yg aneh. Kanan kiri jalanan nampak puluhan bangunan rumah, sekolah, dan kantor tapi tak nampak adanya kehidupan.
Saya menyuruh driver untuk melambatkan jalannya mobil. “Ini gak salah jalan kan Her?” Saya bertanya bukan tanpa alasan. Saya seperti masuk ke dalam kampung yang tak berpenghuni. Banyak bangunan berdiri, tapi tak terlihat sama sekali orang yang menghuni.
Driver saya juga tidak paham pemandangan yang dilihatnya. Kami berdua memang bukan orang asli Sidoarjo, tapi pemandangan ini terasa amat sangat janggal. Seketika pikiran saya terbayang kisah Desa Penari yang tempo hari ramai. Duh..
“Bismillah aja Her, jalan terus.” Kami teruskan perjalanan mengikuti arah maps. Setelah 10 menit menelusuri jalanan yang kecil, kami menemukan sebuah warung kopi kecil tanpa pengunjung. Saya sempatkan berhenti sejenak untuk menanyakan arah tujuan kami.
“Sugeng dalu Bu, wonten rokok?” (Selamat malam Bu, ada rokok?) “Oh wonten Mas, rokok nopo?” Jawaban si Ibu penjual itupun sedikit melegakan saya. Setidaknya si Ibu tidak diam saja dan menampakkan muka datar.
Setelah membeli rokok, saya pun menanyakan arah titik maps yang menjadi tujuan saya. Dijelaskan kemudian kalau tujuan saya dapat dicapai dengan mengikuti jalan kampung ini, sesuai dengan arah peta. “Memang jalannya kecil mas, tapi sudah betul kok itu.” Jawab si Ibu.
“Ngapunten Bu, di belakang sana tadi perkampungannya apa memang tidak ada penghuni ya?” Saya tambahkan sebuah pertanyaan untuk menjawab kejanggalan yang saya alami tadi. Si Ibu yang mendengar pertanyaan itu langsung memandang saya sambil tertawa kecil.
“Oh, Masnya lewat jalan Desa itu ya? Desa itu memang sudah ditinggalkan oleh warga sejak kejadian lumpur Lapindo dulu Mas. 3 Desa yang beresiko terdampak lumpur direlokasi ke tempat lain. Makanya rumah sama kantor di sana semuanya kosong sekarang.”
Syukurlah.. Saya kira saya melalui fenomena mistis. Ternyata, memang saya kurang paham lokasi. Sayapun melanjutkan perjalanan menuju TKP sesuai arah yang ditunjukkan si Ibu penjual. 15 menit kemudian saya tiba di TKP, sebuah rumah tempat jasad wanita itu ditemukan.
Nampak di TKP yang terpoliceline, anggota sedang melakukan olah TKP dan mewawancarai saksi kejadian. Saya pun memanggil anggota yang telah mengumpulkan baket awal dan mendapatkan gambaran kejadian.
Korban diketahui bernama Titis, seorang wanita usia 54 th yang sudah bertahun-tahun tinggal sendirian. Suaminya merupakan warga negara asing yang saat ini tinggal di Eropa bersama dengan putri sematawayangnya.
Kondisinya yg terpisah dari suami dan anaknya ini juga menurut warga menjadi penyebab korban mengalami gangguan kejiwaan. Ketika sedang kumat, korban bisa tiba-tiba marah kepada orang sekitar. Bahkan, terkadang korban terlihat menyapu halaman dengan kondisi setengah telanjang.
Di samping kondisinya tersebut, suami korban masih memberikan nafkah dengan cara transfer ke rekening korban. Karenanya, kebutuhan sehari-hari korban masih tercukupi. Bahkan setiap tahun, sang suami masih berkunjung untuk menengok keadaan Titis.
Olah TKP saya lanjutkan ke dalam rumah. Terlihat korban terbaring di sofa ruang tengah dalam keadaan kaki dan tangan terikat serta mulut tersumpal oleh kain. Kondisi korban sudah mengalami pembusukan. Perkiraan saya, korban sudah meninggal antara 7-10 hari.
Terbayang sekilas di kepala saya kalau korban didatangi beberapa pencuri, namun korban terbangun dan akhirnya pencuri itu panik. Korban dibekap dan diikat sembari para pelaku mengambil barang korban. Ah, tapi itu baru asumsi.. Saya harus cek apa ada barang korban yg hilang.
“Coba nyalakan lampu.” Pinta saya ke anggota karena sedari tadi kondisi dalam rumah sangat gelap tanpa penerangan. Satu-satunya penerangan hanya lampu insidentil di teras depan rumah tempat kami mewawancarai saksi.
“Ndan, listrik rumah ini sudah diputus PLN 3 bulan yang lalu karena menunggak. Itu saja lampu depan minjem listrik tetangga ndan.” Jawaban anggota itu membuat saya heran. Jadi selama 3 bulan ini korban hidup tanpa listrik? Bagaimana bisa?
“Terus, gimana cara korban ngecharge HP?” “Korban ini sudah tidak pakai HP dari setahun setengah lalu Ndan.” jawab anggota menjelaskan. Aduh, sial. Tidak punya HP, tidak memakai listrik, hidup sendiri, dan ada gangguan kejiwaan. Lalu darimana saya harus memulai?
Suara sirine ambulance sudah terdengar. Saatnya kami membawa jenazah korban untuk di autopsi. Semoga autopsi ini bisa menjawab penyebab kematian dan perkiraan waktu meninggalnya korban. Kami menunggu hasilnya sembari melanjutkan penyelidikan fakta lapangan.
Kami lanjutkan memeriksa seluruh bagian rumah. Dari hasil penyelidikan diketahui bahwa tidak ada akses masuk yang rusak. Pada pintu depan rumahpun tidak ditemukan tanda kerusakan. Bahkan, kunci pintu masih menggantung di sisi dalamnya.
Bagian belakang rumah terdapat halaman kecil yang terpagar keliling oleh tembok setinggi 2 meter. Sekeliling pagar langsung berbatasan dengan pekarangan belakang tetangga kanan-kirinya. Kecuali pagar sisi belakang yang berbatasan dengan kebun milik warga.
Harta korban yang paling bernilai ekonomis hanyalah sepeda motor. Dan barang itupun masih ada terparkir di garasi rumah yang tertutup. Dompet milik korban, walaupun isinya tidak banyak, juga ditemukan di dalam kamar. Kalau tidak ada yang hilang, lalu apa motif pembunuhan ini?
Tidak ada barang yang hilang. Tidak ada akses yang rusak. Apa jangan-jangan pelaku dipersilahkan masuk oleh korban? Apa pelaku merupakan orang yang dikenal? Kalau memang benar, lalu apa motivasi pelaku membunuh korban? Dendam, warisan, percintaan?
Di dalam rumah, kami juga menemukan rokok gudang garam, djarum super, dan promild. Tunggu.. Rokok Garpit? Bukannya korban tinggal sendiri? Apa ini rokok untuk perempuan? Tapi, Ariel Tatum saja sempat terlihat membawa rokok ini. Ah, kesampingkan dulu saja.
Saya mulai mewawancarai saksi. Lela, adik korban menjadi yang pertama. Hari ini saat Lela sedang bekerja, tiba-tiba dia mendapat informasi dari tetangga Titis yg merasa ada kejanggalan di rumah Titis. Burung-burung terlihat terbang keluar masuk melalui jendela yg tidak tertutup.
Lela kemudian mencoba mendatangi tempat yang biasa didatangi Titis di Pasar Porong namun Titis tidak ada. Lela kemudian bergegas menuju rumah Titis bersama dengan anaknya. Lela memarkir sepeda motornya di rumah Wati (tetangga korban) sembari menanyakan keberadaan Titis.
Menurut Wati, Titis sudah tidak terlihat melakukan aktivitas selama 2 minggu ini. Mendengar informasi tersebut, Lela dan Wati segera menuju rumah Titis. Mereka masuk ke rumah Titis melalui pintu depan yang berada dalam keadaan tidak terkunci.
Saat memasuki ruang tamu, Lela mencium bau busuk yang menyengat dan melihat Titis telah terbujur kaku di sofa dengan posisi tangan dan kaki terikat serta mulut yang tersumpal oleh kain. Setelah itu barulah Lela melaporkan kejadian tersebut ke perangkat desa.
Lela juga mengatakan kalau selama beberapa tahun ini Titis tinggal sendiri. Untuk kebutuhan hidupnya, Titis mendapatkan nafkah dari suaminya yang dikirim ke rekening milik Titis. Selain itu, sebulan sekali biasanya Lela datang untuk mengganti gas rumah Titis.
“Biasanya kalau gas habis dia itu ngabari saya Pak, tapi ini sudah 2 bulan tidak memberi kabar.” jelas Lela. Setelah mendapatkan kabar, Lela biasanya datang ke rumah Titis, mengetuk pintu, dan berteriak memanggil Titis karena biasanya pintu rumah selalu terkunci dari dalam.
“Nah tadi ini saya masuk kok pintunya tidak dikunci Pak.” Penekanan Lela ini seakan mengatakan kalau pelaku tidak masuk paksa melalui pintu depan atau bisa saja pelaku sengaja dipersilahkan masuk oleh korban. Apa pelaku adalah orang yang dikenal korban?
“Terus apalagi yang janggal Bu? Barang-barang ada yang hilang ga?” tanya saya kepada Lela menimbang bahwa Lela adalah orang yang paling dekat dengan korban. Lela pun terdiam sejenak sembari mengingat-ingat apa yang terlewat.
“Sepertinya tabung gas itu ada 2 lho pak, tapi ini cuma ada 1. Terus itu di dinding itu harusnya sepertinya ada TV, tapi kok tidak ada sekarang?” “Hah? TV? Ibu yakin? Kapan terakhir tau ada TV di sana?” Saya membalas jawaban Lela dengan pertanyaan lainnya.
Mimik Lela menunjukkan keraguan atas ingatannya. Menurutnya dirinya, dulu memang pernah ada TV di dinding ruang tamu, tapi dirinya juga tidak yakin kapan TV itu tidak ada.
Menurut saya, keraguan Lela adalah wajar adanya. Ingatan manusia tentu memiliki keterbatasan. Tapi, keberadaan TV ini juga penting dalam mengungkap motif dari kasus ini. Di sisi lain, saya tidak bisa memaksakan semua temuan harus pasti adanya.
Saya berfikir sejenak mencerna informasi dari Lela. Semua barang korban masih ada kecuali 1 tabung gas dan TV yang diragukan keberadaannya. Saksi pun berkunjung pada 2 bulan yang lalu. Terlalu jauh. Terlalu banyak kemungkinan yang terjadi.
3 bulan sudah korban tidak menggunakan listrik. Pada kondisi itu, TV tentunya menjadi barang yang tidak berguna karena tidak bisa menyala. Tapi masih ada kemungkinan korban sendiri yang menjualnya karena menganggap sudah tidak diperlukan lagi.
4 jam berlalu dan saya belum menemukan arah untuk memulai. Temuan di TKP belum ada yang dapat mengarahkan saya kepada motif, apalagi pelaku. Puzzle-puzzle ini masih hadir mengacak di kepala tanpa arah. Aah.. waktu waktu waktu.
“Semua sebar lebar ya, nanti 2 jam lagi kita konsolidasi. Sekecil apapun informasi, tampung dulu.” Saya berikan arahan kepada anggota supaya mereka tak berhenti bekerja. Walaupun jujur saja kalau seperti ini, mungkin ini akan menjadi kasus pembunuhan tersulit.
Saya sebar anggota untuk mengumpulkan baket dari keluarga, tetangga, atau siapapun yang tau tentang korban. Saya arahkan anggota untuk mencari saksi yang melihat keberadaan korban terakhir. Karena sangatlah sulit mencari pelaku tanpa tahu kapan waktu kejadian pembunuhannya.
2 jam telah berlalu. Saya memilih untuk melakukan konsolidasi di Polsek Porong walaupun jauh dari TKP. Entah kenapa, saya merasa pembunuhnya memiliki hubungan yang dekat dengan TKP. Makanya, untuk keamanan baket saya memilih tempat yang aman untuk berdiskusi.
Anggota telah duduk berkumpul di ruangan rapat. Semuanya terdiam namun menunjukkan raut wajah yang memikirkan sesuatu. Saya rasa, mereka pun belum dapat menyusun puzzle misteri ini menuju suatu arah yang pasti. Tapi yasudalah, saya mulai saja.
“Yak silahkan, mulai dari jelaskan profil dan kebiasaan korban.” Saya membuka konsolidasi malam ini dengan pendalaman terhadap korban.
Anggota menjelaskan temuan yang kurang lebih sama. Korban mengalami gangguan kejiwaan dan tinggal sendiri di rumahnya. Kalau sedang sehat korban berlaku normal, bahkan sering memberi uang ke anak-anak. Tapi kalau sedang kumat, korban diketahui marah-marah ke orang lain.
Kebiasaan korban tidak jauh dari menyapu halaman dan pergi ke Pasar Porong untuk bercengkrama atau mengambil uang di ATM. Selain itu, tidak diketahui kehidupan pribadi korban karena korban tidak menggunakan HP ataupun listrik.
Dari olah TKP, anggota menemukan bahwa ada jendela dengan teralis yang sedikit terbuka. Namun, belum bisa dipastikan apakah teralis itu rusak atau dirusak.
Di tembok samping kanan belakang rumah, ada sisi yang rusak sehingga memungkinkan untuk dilalui. Namun, belum bisa dipastikan itu memang sudah rusak atau dirusak.
Sampai saat ini, hanya itu yang bisa kami dapatkan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00 tapi temuan belum dapat memberikan arah bagi kami. Masing-masing dari kami hanya bisa duduk terdiam melihat langit-langit sambil berfikir langkah apalagi yang bisa diupayakan.
“Ndan, kita ulangi lagi saja besok pagi.” Suara salah satu anggota memecahkan keheningan di dalam ruangan itu. Tapi, saya rasa benar juga. Kondisi malam yang gelap hari ini mungkin saja menyembunyikan hal yang bisa saya temukan esok hari.
“Yaudah semua istirahat dulu, besok pagi kita ulangi lagi olah TKP. Kita perluas area identifikasinya ke lingkungan sekitar.” Kalimat yang saya lontarkan itu menjadi penutup penyelidikan malam ini. Bukan pernyataan menyerah, tapi sejenak berhenti mengatur langkah.
Ketika anggota berangsur pulang, saya ambil waktu untuk duduk di teras depan polsek untuk mereview semuanya. Halaman yang kosong, suasana yang sepi, dan langit malam, memang sesuai untuk merenung berfikir. Saya nyalakan sebatang rokok sambil mengarahkan pandangan ke langit.
Masih ada beberapa hal yang masih menjadi misteri. Waktu kejadian, motif, dan cara pelaku beraksi.
Adik korban terakhir melihat 2 bulan yang lalu. Sedangkan tetangga terakhir melihat korban 2 minggu yang lalu. Dari sekilas kondisi mayat, nampak korban meninggal minimal 7 hari. Rentang waktu perkiraan kejadian masih terlalu luas.
Tidak ada kerusakan di sekitar rumah. Tapi teralis jendela juga dalam kondisi yang rusak dan bisa dimasuki orang. Pintu depan yang biasanya terkunci, ditemukan terbuka tanpa ada kerusakan. Orang yang dikenal atau orang asing?
Dari kondisi korban yang diikat, mustahil kejadian ini dilakukan oleh satu orang. Tapi siapa? Apa motifnya? Sedangkan barang-barang belum bisa dipastikan itu hilang atau dicuri. Hah.. Semua temuan dan asumsi masih berserakan di kepala.
Memang kadang hidup tak selalu menyediakan hal yang kita inginkan. Tapi yakin saja, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui yang dimampu oleh makhluk-Nya.
Saya putuskan untuk istirahat dulu malam ini, menata tenaga untuk esok hari. Walaupun esok juga belum akan nampak memberikan kepastian, setidaknya manusia ini belum menyerah untuk menemukan jalan.
Malam telah berganti pagi. Kami berkumpul kembali di TKP untuk mencari hal-hal yang mungkin saja terlewat. Kami mulai lagi dengan menyusuri sudut demi sudut rumah korban dan juga bertanya kepada siapapun yang kenal dengan korban.
Kondisi pagi hari ini membuat kami bisa mengamati situasi dengan lebih jelas. Halaman belakang yg kemarin masih samar, kali ini dapat kami amati dg lebih baik. Terlihat di pagar sisi timur terdapat lubang selebar 80cm & di sisi luar pagar nampak ranting pohon yg baru saja patah.
Di pagar sisi barat, selain kawat ram yg terputus, terlihat juga tumpukan batu bata. Diantaranya tumpukan batu bata berlumut itu, nampak ada 1 bata yg baru saja patah seolah-olah akibat menerima tekanan beban. Apa mungkin ini jejak pelaku? Apa mungkin pelaku lewat jalur ini?
Tapi, pagar ini langsung berbatasan dengan halaman belakang tetangga korban. Tetangga yang merelakan listriknya dipinjam untuk memberikan penerangan selama kami olah TKP. Kalaupun memang pelaku melewati pagar ini untuk masuk atau keluar, apa pemilik rumah itu tidak tau?
Di sisi lain, hasil otopsi sudah keluar. Dari hasil otopsi, ditemukan resapan darah pada kepala, otot leher, otot dada, dan paru-paru kanan. Penyebab kematian adalah kekerasan benda tumpul pada dada, pendarahan otot dada, dan memar paru sehingga mati lemas.
Muncul di bayangan saya kalau pelaku bekerjasama untuk mengikat, menyumpal mulut, dan menekan dada korban menggunakan tubuhnya sehingga korban mengalami luka. Luka dan kondisi korban yang seperti ini tidak mungkin dilakukan hanya oleh 1 orang.
Kami lanjut melakukan olah TKP selama 2 jam. Kami ulangi lagi memeriksa setiap sudut rumah. Namun ternyata, hanya 2 hal itu temuan berarti yang kami dapatkan. Sisanya.. Sama saja dengan temuan kami malam kemarin.
Siang itu kami juga mendatangi warung tempat korban biasa singgah. Dikatakan oleh pemilik warung bahwa sudah kurang lebih seminggu korban tidak terlihat datang ke warung. Padahal, biasanya korban setiap hari makan, minum kopi, dan membeli rokok di warung tersebut.
Kegiatan pencarian informasi kami lakukan sampai petang. Namun seperti tertutup tabir, kami tidak mendapatkan informasi yang berarti. Buntu.
Jam 21.00 kami masih berkumpul di posko buser. Duduk saling berhadapan sambil berfikir usaha apalagi yang bisa kami lakukan. Hidup sendiri, tidak menggunakan listrik, tidak mempunyai HP, dan memiliki gangguan kejiwaan. Aaaaargh...
“Terus gimana lagi ini?” tanya saya meminta ide kepada anggota. “Ini kayanya ga mungkin ndan, susah. Kita cari bantuan orang pinter aja.” Jawaban salah satu anggota ini seakan menggambarkan kebuntuan di kepalanya.
“Hus, ngawur! Belasan tahun saya jadi reserse ga pernah sekalipun ya saya pakai cara itu.” Selama 4 tahun terakhir, kurang lebih saya telah mengungkap 32 pembunuhan dengan mengandalkan analisis dan logika. Menurut saya, kejahatan itu bisa dipelajari. Ya,walaupun kadang.. Susah.
“Terus gimana ndan?” Anggota kembali bertanya kepada saya. Melontarkan kembali pertanyaan yang sama-sama kami ketahui belum bisa terjawab saat ini. “Udahlah pulang dulu. Siapa tau dapet wangsit pas tidur.”
Jawaban tidak logis yang saya lontarkan barusan menutup upaya kami malam itu. Saya isyaratkan anggota untuk istirahat tanpa berpikir terlalu berat. Kadang, jika kita terlalu memenuhi kepala dengan banyak pikiran, maka ruang kreasi akan enggan menunjukkan eksistensinya.
Keesokan harinya, saya datang ke kantor seperti biasa. Selain kasus tersebut, masih ada banyak pekerjaan lain yang juga tak bisa saya abaikan. Walaupun saya juga tak menampik fakta kalau jalan pengungkapan kasus ini belum terlihat terang.
Saat bekerja meneliti berkas penyidikan kasus lainnya, pikiran saya tetap tak bisa beralih dari kasus tempo hari. Kejadiannya sangat rapi dan kerusakan sangat minim. Seolah-olah, para pelaku sangat familiar dengan TKP dan lingkungannya. Hmmm…
“Masih ada lagi.. Masih ada lagi.” Tiba-tiba di kepala saya terlintas ide tentang apa yang harus saya lakukan. Ada satu hal lagi yang masih bisa saya lakukan untuk mencari petunjuk melengkapi puzzle misteri yang ada. Saya langsung memanggil anggota untuk berkumpul.
30 menit kemudian tim buser telah berkumpul. Tampak raut mereka bingung karena sedari datang saya hanya mengamati wajah dan penampilan mereka dari atas ke bawah. “Naaah, kamu cocok ini.” Ucapan saya itu semakin membuat anggota kebingungan.
“Cocok apa to ndan?” Balas anggota yang nampak tidak mengerti apa maksud kata “cocok” yang saya lontarkan. “Sudah, ayo.. Ikut aku cari rombong siomay.”
Setelah itu, saya ajak anggota itu pergi untuk mempersiapkan strategi baru. Medif, anggota buser berperawakan kurus, tidak tinggi, dan berkulit khas wilayah pesisir itu terpilih menjadi agen siomay kijang1 ganti yang akan saya tugaskan dalam misi khusus.
Dari temuan penyelidikan dan intuisi, saya rasa pelakunya tidak jauh dari TKP. Oleh karena itu, saya tugaskan anggota untuk berjualan siomay sembari memantau apa-apa yang mungkin saya lewatkan di TKP. “Ee.. Sampai kapan ndan?” Anggotapun bertanya dengan penuh harap.
“Innallaha ma'ashobirin" (Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar) Dengan perkataan itu, Medif pun paham kalau saya tidak akan berhenti sampai ada petunjuk lain yang menuntun saya kepada pelaku.
Hari berlanjut. Saya melanjutkan pekerjaan lain yang harus diselesaikan, sembari Medif menjalankan perannya menjadi pedagang siomay kijang1 ganti untuk mencari petunjuk. Asalkan ada tekad pasti selalu ada jalan.
Seminggu berlalu. Medif belum mendapatkan petunjuk yang berarti. Aktivitas warga masih berkutat dengan kehebohan kematian Titis dan acara keagamaan yang diadakan keluarga untuk mendoakan Titis.
1 bulan berlalu, Medif masih belum mendapatkan petunjuk yang berarti. Bedanya, kali ini dia sudah cukup dikenal sebagai pedagang siomay yang ramah dengan tetangga. Terkadang, dia juga mendengar bagaimana tetangga saling membicarakan tetangga lainnya yang tidak satu rombongan.
Di satu sisi saya senang kalau dia dekat dengan warga. Namun di sisi lain saya khawatir juga kalau dagangannya sukses dan kehilangan minatnya untuk menyelidiki. Aah.. itu kan hanya ada di adegan film Extreme Job pikirku.
35 hari setelah penemuan mayat. Sabtu siang itu, saya sedang menyantap Lodeh Mbok Legi di tengah kota Sidoarjo. Tiba-tiba ada panggilan masuk dari Medif di HP saya. Suatu hal yang tidak biasa anggota menelpon di hari libur kecuali ada hal yang penting atau mendesak.
“Ndan.. ndan.. ada petunjuk!” Kalimat pembuka yang penuh nada semangat menjadi awal salam dalam percakapan kali itu. “Opo le?” (Ada apa sih?) Jawab saya santai.
“Tanggal 10 Februari dini hari ada yang melihat orang berdiri di depan rumah korban ndan. Saksinya lebih dari 1 orang.” Medif menyampaikan informasi yang menurutnya berharga. “Hah? Yakin? Siapa orang yang menunggu itu?” Sayapun bertanya lagi untuk memastikan.
Medif pun menjelaskan kalau siang hari itu dia sedang berjualan siomay pada sekelompok ibu-ibu. Sembari berjualan, Medif mendengar pembicaraan tentang situasi dini hari tanggal 10 Januari 2023 di depan rumah korban; tepat sebelum korban tidak terlihat lagi di lingkungannya.
Anak salah satu ibu tersebut melihat Mumun berdiri di depan rumah Titis dengan raut muka gelisah, seperti ada yang ditunggu. Mumun sendiri adalah anak dari tetangga samping barat korban. Rumah yang berbatasan langsung dengan pagar yang terdapat batu bata yang baru rusak.
Selain itu, Medif juga menjelaskan kalau ada informasi dari pedagang bakso bahwa di waktu dini hari sekitar seminggu sebelum kejadian, ada saksi yang melihat Mumun berboncengan dengan temannya sambil membawa TV. Saya pun mencoba mencerna dua informasi ini.
“Terus sekarang Mumun dimana?” Tanya saya kepada anggota mempersingkat. “Memang Mumun sudah ngekos di Gempol semenjak punya istri ndan. Tapi pasti beberapa hari seminggu dia pulang ke rumahnya ini. Tapi ini sudah ga pulang sebulan ndan..” jawab anggota menjelaskan.
“Sudah tinggal saja daganganmu. Semua anggota kumpul di mako sekarang. Persiapan!” Penekanan saya kepada anggota itu kemudian menjadi penanda dimulainya babak baru pengungkapan misteri ini.
Pukul 15.00 seluruh tim sudah berkumpul di kantor membahas bagaimana teknis pengejaran Mumun. Menurut Paguyuban Nasgor Kijang1 Ganti, Mumun saat ini pergi ke Cianjur ke rumah istrinya. Kang Nasgor cabang Cianjur pun sudah memantau dan menunggu aba-aba dari tim kami.
“Gimana ini? Pergi sekarang apa nunggu Senin aja? Weekend lho ini..” Saya mendiskusikan dengan anggota kapan waktu yang tepat untuk bergerak. “Mpun, gas mawon ndan.” (Udah, gas saja ndan) Dan perjalanan ke barat pun dimulai.
Bersama langit sore kami menyusuri jalan tol trans jawa. Perkiraan waktu di maps menunjukkan kalau kami baru akan sampai di lokasi 10 jam kemudian. Pada perjalanan yg cukup memakan waktu ini, pertaruhan kami adalah semoga saja pelaku masih ada di tempatnya ketika kami sampai.
Pukul 20.00 ketika kami masih dalam perjalanan, Akang Nasgor Cabang Cianjur memberi kabar kalau Mumun ada di rumahnya. Hanya saja, nampak gelagat yang mencurigakan. Aduh. Kami baru sampai di Jawa Tengah. Masih butuh waktu beberapa jam lagi untuk sampai di lokasi.
Perkembangan situasi menuntut saya harus mengambil keputusan. Akhirnya, saya pun meminta perbantuan kepada Tim Cianjur untuk mengamankan Mumun terlebih dahulu. Saya tidak bisa mengambil resiko Mumun lepas lebih jauh lagi.
“Tolong amankan dulu ya Kang, daripada jauh.” Pinta saya kepada katim buser Cianjur. Dan penggerebekan itu pun dimulai. Tak lama, Mumun dapat diamankan dan dibawa ke Polres Cianjur. Alhamdulillah.. Kami yang masih dalam perjalanan dapat melanjutkan perjalanan dengan tenang.
Pukul 3.00 dini hari kami sampai di Cianjur. Langsung saja kami bergegas menghampiri Mumun. Penantian 36 hari dengan beban pikiran di kepala membuat saya kami mengesampingkan lelah perjalanan darat yang cukup lama ini.
“Mun, kenapa kamu membunuh Bu Titis sih?” Kalimat tanya itu menjadi kalimat pertama yang saya lontarkan. “Nganu Pak, saya panik. Korban berteriak menyebut nama saya malam itu. Saya khilaf..” balas Mumun sembari tertunduk penuh rasa penyesalan.
Haaah.. lega. Momen-momen pengungkapan kasus pembunuhan selalu membawa sensasi tersendiri untuk saya. Rasanya seperti anak SMA yang pada akhirnya berhasil memecahkan persamaan aljabar dan integral matematika yang sangat sulit. Puas.
Setelah 3 jam istirahat dan menyeruput kopi hitam, kami lanjutkan perjalanan kembali ke Sidoarjo. Kami putuskan untuk segera berangkat karena masih ada pelaku lain yang harus kami amankan. Semua harus tuntas, supaya korban mendapatkan keadilan yang layak.
Di perjalanan pulang, kami mempunyai cukup waktu untuk bertanya kepada Mumun. Dan Mumun pun memulai menceritakan detail kejadiannya malam itu. Termasuk juga peran teman-temannya yang belum tertangkap.
Mumun menjelaskan kalau kejadian itu bermula pada tanggal 6 Januari. Saat itu Mumun dan Ronald sedang duduk mengobrol di area tanggul Lusi (Lumpur Sidoarjo). Lalu, muncullah pembicaraan diantara keduanya kalau mereka ingin membeli narkoba jenis sabu namun tidak memiliki uang.
Mumun lalu menyampaikan kepada Ronald kalau target yang cocok yaitu rumah Titis, tetangga rumahnya. Menurut Mumun, Titis tinggal sendiri dan mengalami gangguan kejiwaan sehingga akan mudah jika melakukan pencurian di rumah tersebut.
Setelah itu, Mumun dan Ronald pergi ke rumah korban untuk mengecek situasi, termasuk akses pagar belakang yang nantinya akan menjadi akses masuk mereka. Setelah itu, mereka menyusun rencana dan menunggu waktu yang menurut mereka tepat.
Pada sore hari tanggal 9 Januari, Mumun sedang minum miras bersama teman-temannya di sebuah bengkel. Setelah itu, Mumun berkunjung ke rumah Ronald dan ternyata di sana sudah ada Memed. Akhirnya, mereka bertiga pindah ke Tanggul Lusi untuk minum miras.
Sesampainya disana, Ronald tidak ingin minum. Ronald ingin menggunakan sabu alih-alih minum miras. Setelah itu mereka pun memesan sabu dan memakainya bersama-sama. Karena tidak punya uang, untuk pemakaian kali ini mereka berhutang pada si pengedar.
Mereka bertiga kemudian lanjut memakai sabu sambil membahas rencana pencurian di rumah Titis. Pada pukul 23.30, mereka memutuskan untuk melancarkan aksi pencuriannya di rumah Titis. Mereka menyusuri jalan belakang rumah dengan bermodalkan cahaya dari HP.
Mereka lalu masuk dengan melompati pagar sisi timur dan mencari akses masuk rumah. Akhirnya mereka menemukan teralis jendela yang terbuka, dengan sekrup yang tidak terpasang. Setelah mendorong teralis itu, mereka kemudian dapat masuk secara bergantian ke dalam rumah.
Di dalam rumah, Mumun melihat Titis sedang merokok di sofa ruang tengah. Agar aksi pencuriannya lancar, Mumun lalu membekap mulut Titis sembari kedua rekannya yang lain memegangi tangan dan kakinya. Saat proses itu terjadi, korban meronta-ronta.
Titis meronta sambil berteriak, “Adek.. adek..” Teriakan inilah yang membuat Mumun kalut karena “adek” merupakan panggilan rumah untuk Mumun, yang tidak lain adalah tetangganya sendiri. Artinya, Titis telah melihat wajah Mumun.
Merespon hal itu, Ronald lalu menaiki dan menekan tubuh korban. Memed juga mengambil sprei dan kemudian mengikat kaki korban. Kejadian itu dilakukan selama 15 menit sampai korban lemas.
Setelah memastikan korban lemas, barulah setelah itu mereka bertiga beraksi mengambil TV, BPKB, uang tunai dan tabung gas yang ada di rumah korban.
Mumun kemudian mengambil motor adeknya dan menunggu 2 temannya di luar rumah korban. Setelah itu mereka membawa TV dan tabung gas ke kos Mumun di Pasuruan. Keesokan harinya, barulah mereka menjual barang curian tersebut secara online.
Semua detail kejahatan yang diceritakan Mumun selesai pada Minggu sore, bersamaan dengan tibanya kami kembali di Sidoarjo. Kami lanjutkan pergerakan untuk memeriksa rumah orang tua Mumun. Benar saja, kami menemukan BPKB motor milik korban ada di dalam tas milik Mumun.
Berdasarkan petunjuk yang ada, kami pun dapat mengamankan Memed keesokan harinya di kecamatan sebelah. Lalu Ronald? Keberadaan Ronald masih belum kami ketahui, tapi saya yakin itu hanya masalah waktu.
Hari Rabu, kami lakukan konferensi pers untuk menjelaskan detail kejadian dan para pelaku kejahatan yang telah kami amankan. Kasus yang hampir saja membuat saya menyerah, tapi justru memberikan saya pelajaran untuk tidak boleh kalah.
Dua hari kemudian, Ronald menyerah. Dia menghubungi kami dan menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alhamdulillah tunai sudah. Dengan ini misteri kasus pembunuhan keempat telah selesai. Sampai bertemu lagi, Kijang 1 Ganti.
Abimanyu

Abimanyu

@prabu_abimanyu
akun pribadi | 🧯Pemadam Kejahatan |🕵🏻‍♂️Curently serving as Head of Sidoarjo Criminal Investigation Division
Follow on Twitter
Missing some tweets in this thread? Or failed to load images or videos? You can try to .